Iklan Header 3

MAHAR DAN MAHIR PILKADA

- Reporter

Sabtu, 7 September 2024 - 12:43 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jogja,(kalaharinews.co)-Hari-hari ini kita berada dalam suasana pragmatisme Pilkada, dimana uang beredar, berkelindan diantara kebutuhan mendesak sehari-hari dan akal sehat di ujung jemari.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memang selalu menjadi moment yang menarik perhatian. Di setiap sudut kota, kita bisa melihat baliho besar dengan wajah-wajah tersenyum, janji-janji manis bertebaran di mana-mana, dan slogan-slogan keren yang terdengar menjanjikan. Namun, di balik megahnya baliho kampanye ini, ada pertarungan yang sering kali tak kasat mata, dimana banyak calon lebih mengandalkan uang (mahar) ketimbang kompetensi (mahir).

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan momen penting dalam demokrasi Indonesia. Proses ini memungkinkan masyarakat memilih pemimpin daerah yang diharapkan mampu memajukan wilayahnya. Namun, di balik proses demokrasi yang ideal, ada beberapa isu yang terus menjadi sorotan, salah satunya adalah fenomena mahar politik. Ada banyak calon yang mampu memborong dukungan semua parpol hingga yang tersisa tinggal kotak kosong. Ada pula calon yang dimunculkan sebagai lawan boneka,  pura-pura ada lawan, seolah terjadi “pemilihan”, padahal sejatinya cuma “pengaturan”. Terbukti, sebelum ada revisi aturan di MK, hampir 150an daerah memunculkan kotak kosong.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mahar politik seolah menjadi praktik yang lazim di mana seorang calon kepala daerah diharuskan membayar sejumlah uang kepada para pihak untuk mendapatkan dukungan. Fenomena ini jelas meresahkan karena menyiratkan bahwa proses pencalonan lebih didasarkan pada kemampuan finansial, bukan pada kualitas atau integritas mereka. Mahar politik memperburuk citra demokrasi, karena membuka peluang bagi calon yang tidak kompeten, tetapi memiliki uang banyak, untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Lebih jauh, mahar politik juga dapat menjadi benih dari korupsi karena calon yang terpilih mungkin akan berutang budi dan merasa perlu untuk “mengembalikan” investasi yang telah mereka keluarkan saat proses pencalonan.

Di sisi lain, kemampuan atau kemahiran personal dari sang calon kepala daerah adalah faktor yang semestinya menjadi perhatian utama. Seorang calon bupati atau gubernur yang mahir, memiliki kemampuan untuk merumuskan kebijakan publik, memecahkan masalah, dan mengelola sumber daya daerah dengan efisien. Kemahiran ini mencakup pengalaman, visi pembangunan yang jelas, serta kemampuan untuk menggerakkan birokrasi dan masyarakat menuju tujuan yang sama.

Pemimpin yang mahir tidak hanya sekadar tahu apa yang harus dilakukan, tetapi juga mampu membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, memimpin dengan keteladanan, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks ini, publik harus lebih memperhatikan rekam jejak, kompetensi, dan ide-ide yang ditawarkan oleh para calon, bukan sekadar popularitas atau dukungan finansial yang mereka miliki.

Realitas di lapangan seringkali menunjukkan adanya tarik-menarik antara kedua aspek ini. Mahar politik bisa menghambat munculnya calon yang benar-benar berkualitas dan mahir, karena hanya mereka yang memiliki dana besar yang dapat maju. Di sisi lain, calon yang tidak memiliki kekuatan finansial tetapi memiliki kemampuan memimpin yang baik, sering kali kalah dalam kontestasi politik karena tidak mampu bersaing dari segi modal dan logistik kampanye.

***

Kita tahu bahwa politik memang tidak bisa lepas dari uang. Membuat baliho, membayar iklan, hingga menggerakkan tim kampanye tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, ada kalanya uang ini justru merusak esensi dari demokrasi itu sendiri. Fenomena seperti money politics (politik uang) kerap terjadi, di mana calon pemimpin berusaha membeli suara rakyat dengan iming-iming uang atau barang. Tentu saja, ini membuat kita bertanya-tanya: apakah masyarakat memilih berdasarkan siapa yang paling bisa membayar, atau siapa yang paling bisa memimpin?

Untuk menangkal dilema itu, akal sehat-lah jawabannya. Logika sederhana yang mengutamakan kualitas, visi, dan kemampuan calon seharusnya lebih dominan. Pemilih yang menggunakan akal sehat tentu akan mempertimbangkan rekam jejak, integritas, serta kemampuan calon dalam menghadapi berbagai masalah yang ada di daerahnya. Sayangnya, terkadang, suara akal sehat ini kembali tertutupi oleh gemerincing uang dan janji-janji kosong yang menggiurkan.

Namun, bukan berarti kita harus pesimis. Banyak juga masyarakat yang semakin sadar bahwa masa depan daerah mereka tidak bisa diserahkan kepada mereka yang hanya bisa menghamburkan uang. Akal sehat mulai menang di berbagai Pilkada, di mana calon-calon dengan kualitas unggul berhasil menang tanpa harus “membeli” suara. Rakyat yang cerdas adalah kunci untuk mengembalikan proses demokrasi ke jalur yang benar.

Oleh karena itu, untuk membangun demokrasi yang sehat, sangat penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk mengutamakan kemahiran calon, bukan hanya aspek finansialnya. Selain itu, regulasi yang tegas dan pengawasan yang ketat perlu diterapkan untuk menghilangkan praktik mahar politik yang merusak proses demokrasi.

Pilkada seharusnya menjadi ajang bagi calon-calon pemimpin yang mahir dalam memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat. Namun, praktik mahar politik sering kali menjadi kendala bagi munculnya calon berkualitas. Untuk itu, peran masyarakat dalam memilih dengan cerdas serta regulasi yang ketat terhadap praktik mahar politik menjadi kunci dalam membangun Pilkada yang adil dan demokratis.

Pada akhirnya, Pilkada adalah tentang memilih orang yang tepat untuk memimpin daerah. Uang mungkin bisa membuat kampanye lebih meriah, tapi hanya akal sehat yang bisa memastikan kita memilih pemimpin yang benar-benar layak.

 

#Asep Ramdani, penulis lulusan Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, pemerhati politik dan budaya.

Facebook Comments Box

Berita Terkait

BERITA KEHILANGAN
KAMPUNG YANG TAK KUNJUNG RAMPUNG
Calon Petahana Bupati Gunungkidul : Sunaryanta, Nomor Urut Tiga dan Tekad Melanjutkan Pembangunan
(BERINGIN)MENDADAK MUNDUR
Dua Warga Sulawesi Selatan Kecelakaan di Jalur Pantai, Kondisinya Luka-luka
Berita ini 28 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 8 Januari 2025 - 11:45 WIB

BERITA KEHILANGAN

Jumat, 18 Oktober 2024 - 11:28 WIB

KAMPUNG YANG TAK KUNJUNG RAMPUNG

Jumat, 27 September 2024 - 14:38 WIB

Calon Petahana Bupati Gunungkidul : Sunaryanta, Nomor Urut Tiga dan Tekad Melanjutkan Pembangunan

Sabtu, 7 September 2024 - 12:43 WIB

MAHAR DAN MAHIR PILKADA

Rabu, 14 Agustus 2024 - 16:59 WIB

(BERINGIN)MENDADAK MUNDUR

Senin, 11 Maret 2024 - 19:06 WIB

Dua Warga Sulawesi Selatan Kecelakaan di Jalur Pantai, Kondisinya Luka-luka

Berita Terbaru

ekonomi

Pemerintah Larang Pengecer Jual Gas Melon ke Konsumen 

Senin, 3 Feb 2025 - 18:18 WIB