Yogyakarta,(kalaharinews.co)-Ada tiga kata yang berkelindan dengan Partai Pohon Beringin sejak tiga hari kemarin. Kemunduran (Airlangga), Kebodohan (Bahlil) dan Kekalahan (Jokowi).
Golkar hari ini adalah satu-satunya “partai demokratis” yang tersisa. Karena semua partai selain Golkar, tak ubahnya perusahaan perseorangan yang hanya dimiliki oleh elit pribadi.
***
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konstelasi politik Indonesia yang semakin rumit karena terlalu banyak intrik, dinamika internal partai politik memainkan peran penting dalam menjaga keberlangsungan iklim demokrasi di negeri ini. Dari semua partai politik yang ada, Golkar menonjol sebagai satu-satunya yang masih mempertahankan “karakter demokratis” dalam pemilihan sosok ketua di tubuh partainya. Sementara partai-partai lain cenderung terperangkap dalam struktur yang lebih tersentralisasi, Partai Golkar justru terlihat semakin dinamis, terus menjaga prinsip-prinsip demokrasi di dalamnya.
Lihatlah dalam berbagai acara Munas ditingkat nasional, maupun Musda di tingkat daerah, rasanya hanya di Golkar aroma pertarungan diantara para kandidat dan pendukungnya, dalam acara pemilihan Ketua masih bisa terasa dan terlihat dengan kasat. Sementara di partai lain, yang terjadi lebih kental nuansa penunjukkan dibanding pemilihan. Itulah yang membuat Golkar dengan catatan kelam di masa lalu, kini semakin memikat di hati para politisi yang berusaha menapak karir tanpa jejak dinasti. Contohnya adalah Zulfikar Arse Sadikin dan Sidi Mawardi
Golkar, yang secara resmi didirikan pada tahun 1964, awalnya adalah sebuah Sekretariat Bersama (Sekber) beberapa organisasi underbow Orde Baru. Dibuat untuk mengkonsolidasi kekuatan agar Soeharto bisa berkuasa penuh.
Namun setelah Soeharto jatuh diera reformasi, Golkar berganti haluan jadi sebuah partai dan bertransformasi menjadi lembaga politik yang lebih modern, terbuka dan inklusif dalam proses pengkaderan di internalnya.
Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar sering kali menjadi sorotan nasional, karena proses pemilihannya yang melibatkan banyak pihak, termasuk perwakilan dari berbagai daerah dan sayap organisasi. Ini mencerminkan semangat keterbukaan dan partisipasi yang lebih luas dibandingkan dengan partai-partai lain yang mungkin lebih terpusat pada figur tertentu atau kelompok kecil. Partai Golkar, dalam hal ini, diibaratkan sebagai “perusahaan terbuka” dengan banyak pemegang saham yang memiliki suara dalam menentukan arah kepemimpinan partai.
Berbeda dengan Golkar, beberapa partai politik besar lainnya di Indonesia sering kali dikelola seperti “perusahaan perseorangan,” di mana kekuasaan dan keputusan berada di tangan sekelompok kecil orang atau bahkan satu tokoh dominan. Demokrasi internal di partai-partai ini sering kali tampak lemah, dengan pemilihan pemimpin yang lebih bersifat aklamasi daripada kontestasi terbuka.
Hal ini tentu saja berdampak pada bagaimana partai-partai tersebut berfungsi dalam sistem demokrasi yang lebih luas. Partai dengan demokrasi internal yang kuat cenderung lebih responsif terhadap aspirasi anggotanya, lebih terbuka terhadap kritik, dan lebih mampu beradaptasi dengan perubahan sosial-politik. Di sisi lain, partai yang terlalu terpusat mungkin lebih rentan terhadap krisis kepemimpinan ketika figur sentralnya melemah atau kehilangan popularitas.
Meski demikian, bukan berarti eksistensi Golkar hadir tanpa resistensi dan gangguan. Seiring dengan perubahan dinamika politik di Indonesia, Golkar harus terus beradaptasi dan mempertahankan diri dari upaya pembelahan dengan meruncingnya faksi-faksi dalam partai, banyaknya “kader titipan” dan persaingan internal yang sangat tajam seringkali membuat beringin panas dingin. Meskipun, jika hal itu dikelola dengan baik, keragaman suara dan riak-riak sandungan dalam perjalanan Golkar sebagai partai teknokratis, justru bisa menjadi sumber kekuatan yang membuat partai ini tetap relevan dan dinamis di kancah politik nasional.
Golkar juga harus menghadapi dua tantangan besar didepan. Satu tantangan dari luar berupa orang-orang kuat yang terus berupaya mengobok-obok kebersamaan, dan yang kedua adalah tantangan dalam mempertahankan basis dukungan tradisionalnya, sembari berupaya menarik pemilih baru dari generasi muda yang mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda. Dalam konteks ini, proses demokratis internal yang kuat bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih yang menginginkan partai yang benar-benar merepresentasikan aspirasi mereka. Jadi kalau ujug-ujug memberi ruang untuk Gibran untuk jadi ketua, sama saja dengan meruntuhkan fondasi kuat yang sudah dibangun sejak era Akbar Tanjung.
Partai Golkar, dengan segala sejarah dan dinamikanya yang kerap diisi dengan gonjang ganjing pergantian nahkoda, sepertinya akan tetap menjadi salah satu kiblat politik di Indonesia. Siapapun tokohnya akan memainkan peran sutradara didalamnya. Tentu saja dengan catatan tebal, asal jangan yang terpilih nanti Ketua Umum boneka yang dikarbit dari luar. Dalam lanskap politik yang sering kali didominasi oleh figur sentral atau kelompok kecil, Golkar menawarkan model partai yang lebih powerfull dari sisi kepemimpinan kolektifnya.
Namun, dengan mundurnya sang ketua umum kali ini. Tak ayal menunjukkan sinyal kemunduran akibat kebodohan yang sulit dibayangkan sebelumnya. Partai dengan raihan suara yang signifikan di era Airlangga, harus tersandera oleh orang kuat yang tak bisa diraba. Ada ‘voldemort’–mereka yang ‘tak boleh disebutkan namanya’– yang ternyata lebih berkuasa diatas beringin yang sedang subur-suburnya berdaun rimbun itu.
***
Penulis : Asep Ramdani, alumnus filsafat UGM angkatan 97. Pemerhati politik nasional sekaligus pemerhati kebudayaan.