Gunungkidul, (kalaharinews.co) – Isu mengenai pembangunan infrastruktur yang tak kunjung rampung sering kali menjadi bahan perdebatan yang hangat di antara pihak eksekutif dan legislatif. Di satu sisi, eksekutif—dalam hal ini bupati—memiliki tugas dan tanggung jawab untuk merealisasikan pembangunan yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, di sisi lain, proses ini tidak bisa lepas dari pengawasan dan persetujuan pihak legislatif, yaitu dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Ketika proyek infrastruktur mengalami keterlambatan atau tidak terealisasi sama sekali, muncul pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya harus disalahkan?
Dalam beberapa kasus, pihak eksekutif sering kali menghadapi situasi dimana dewan dianggap kurang mendukung, baik dalam hal anggaran maupun persetujuan kebijakan. Dewan dianggap terlalu birokratis dan seringkali memberikan hambatan-hambatan administratif yang memperlambat proses pembangunan. Terlebih lagi bila sang bupati hanya didukung oleh partai minoritas. Dari perspektif eksekutif, lambannya dukungan legislatif membuat bupati dan jajarannya terjebak dalam dilema; mereka dituntut untuk bergerak cepat namun di sisi lain terkekang oleh persetujuan yang tak kunjung datang.
Kendala pembangunan yang disebabkan oleh resistensi anggota dewan terhadap eksekutif, khususnya bupati ini sering kali menjadi isu yang disalahpahami oleh masyarakat. Masyarakat, yang pada dasarnya menantikan realisasi pembangunan, sering kali melihat keterlambatan atau kegagalan proyek sebagai ketidakmampuan eksekutif untuk mewujudkan janji-janji mereka. Padahal itu semua bukan berarti bupatinya tidak mau bekerja memenuhi harapan, tapi terkadang seringkali karena hambatan regulasi yang diakibatkan karena resistensi dewan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anggota dewan, sebagai bagian dari legislatif, memang memiliki tugas penting dalam mengawasi dan menyetujui kebijakan eksekutif, termasuk proyek infrastruktur. Tapi resistensi dan kekhawatiran mereka terhadap usulan eksekutif yang berlebihan justru akan kontraproduktif dan membuat pembangunan tidak bisa berjalan semestinya.
Resistensi dewan terhadap eksekutif juga bisa dipengaruhi oleh dinamika politik. Misalnya, jika mayoritas dewan berasal dari partai politik yang berbeda dengan bupati, bisa saja terjadi friksi yang menghambat kerja sama. Ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga strategi politik yang mungkin tidak selalu terlihat oleh masyarakat. Masyarakat sering kali hanya melihat hasil akhir tanpa memahami pertarungan politik di balik layar.
Kesalahpahaman masyarakat biasanya muncul karena mereka cenderung melihat pembangunan secara sederhana : jika pembangunan tidak terjadi, yang salah adalah bupati atau eksekutif.
Namun, di balik itu semua, yang kurang adalah transparansi komunikasi dari kedua belah pihak. Bupati dan eksekutif sering kali tidak cukup memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang kendala yang dihadapi, dan dewan juga tidak selalu menjelaskan alasan mengapa mereka menolak atau menunda persetujuan. Akibatnya, masyarakat hanya melihat keterlambatan tanpa memahami proses pengambilan keputusan yang ada.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan komunikasi yang lebih baik dan keterbukaan dari eksekutif maupun legislatif. Jika masyarakat lebih memahami peran masing-masing pihak dan alasan di balik resistensi dewan, mereka mungkin akan lebih bijak dalam menilai situasi, dan tidak cepat menyalahkan satu pihak tanpa memahami konteks yang lebih luas. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan akan membantu mengurangi kesalahpahaman dan membangun kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Di sisi lain, eksekutif jelas menghadapi tuntutan masyarakat agar pembangunan infrastruktur segera terwujud. Berbagai program yang telah dijanjikan ketika kampanye akan diminta untuk segera direalisasikan. Ini yang sering kali menjadikan bupati pada posisi dilema dan serba salah. Terus maju bisa kena tinju, berhenti rakyat banyak yang menunggu.
Pada akhirnya, yang paling dirugikan dari perdebatan ini adalah masyarakat. Masyarakat menunggu hasil nyata dari janji-janji pembangunan yang digaungkan saat kampanye, namun ketika konflik terus terjadi antara eksekutif dan legislatif, janji tersebut hanya menjadi angan-angan. Publik berhak mendapat pelayanan yang baik, dan infrastruktur yang memadai adalah bagian penting dari kesejahteraan mereka.
Penulis : Asep Ramdani ( Pemerhati Sosial Politik, Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada )