Yogyakarta,(kalaharinews.co) – Siang hari, di warung sate kambing “Waru Dhoyong” Kotagede, awal Desember 2023. Jam makan siang, di sela penggarapan patung kapal dengan ketinggian 10 meter pesanan dari Gorontalo serta sebuah patung burung lambang Kota Bima, Nusa Tenggara Barat.
“Di usia Bapak yang 76 tahun ini, apakah tidak apa-apa kalau masih makan daging kambing?”
“Biasa saja. Saya tidak ada masalah dengan daging kambing. Juga gula.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hardjono, warga kampung Alun-alun, Kotagede, kelahiran tahun 1947. Semenjak usia anak-anak, ia telah tertarik dengan seni rupa, terutama seni patung.
Selepas tamat STM 2 Yogyakarta, jurusan mesin, ia bekerja sebagai pengrajin perak dan logam di Kotagede. Nyantrik di berbagai pengrajin logam.
Pada era 1970an, ia pindah ke Semarang. Bekerja di perusahaan pengerjaan kriya logam. Selanjutnya, berpindah ke Jakarta, mengerjakan berbagai proyek patung dari semen. Salah satunya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Hardjono memutuskan kembali ke Yogya pada era 1980an. Ia kemudian mendirikan sanggar “Lotus” yang menangani pengerjaan patung-patung dan relief berbahan semen.
Di era 1990an, ketika sanggar Lotus sudah bubar, Hardjono kembali menggarap kerajinan logam. Satu demi satu pesanan dikerjakan sendiri tanpa bendera kelembagaan.
Pada 8 Agustus 2017, bersama dengan Lanang Raharjo dan Nursih Basuki, ia mendirikan sanggar seni “URI-URI” KRIYA LOGAM. Melakukan pengerjaan seni kriya logam dalam bentuk patung dan relief dengan ukuran besar-besar.
Teknik yang digunakan Hardjono adalah tatah dan kentheng. Lembaran logam diletakkan di atas jabung, yang berfungsi sebagai bantalan, kemudian diukir dengan tatah.
Atau, lembaran logam diletakkan di atas kayu atau besi, kemudian dipukul-pukul hingga membentuk pola yang diinginkan.
Lembaran-lembaran logam, tembaga ataupun kuningan, yang telah berpola tersebut kemudian disatukan dengan rangka. Direkatkan dengan menggunakan las.
Saat ini, Hardjono dan sanggar URI-URI merupakan satu-satunya tempat kerajinan di Kotagede yang menangani patung dan relief logam ukuran besar yang menggunakan teknik tatah dan kentheng.
Sedangkan di Yogya, sepengetahuan Hardjono, hanya ada dua bengkel kerajinan yang menggunakan teknik tatah dan kentheng. Sanggar URI-URI merupakan salah satunya.
Karya-karya Hardjono, baik ketika sendiri ataupun dengan berbagai sanggar, telah tersebar dari Sumatera hingga Papua. Dari hiasan rumah tangga hingga patung di istana negara.
Di tiga istana kepresidenan di Indonesia terpasang patung-patung garuda Pancasila karya Hardjono dan teman-temannya, yakni di Istana Bogor, Istana Negara Jakarta, dan Gedung Agung (Istana Negara) Yogyakarta.
Saat ini, di Kotagede, menurut Hardjono, tidak banyak generasi muda yang tertarik terjun di bidang seni kriya logam, terutama relief dan patung ukuran besar. Para pekerja di sanggar URI-URI didominasi oleh orang tua.
Hardjono berharap ada bagian dari generasi muda yang mau berprofesi sebagai pengrajin kriya logam. Profesi tersebut memiliki prospek yang bagus. Akan semakin banyak dibutuhkan.
Selain itu, juga untuk meneruskan tradisi kerajinan logam di Kotagede. Sesuai dengan nama “uri-uri”, atau menguri-uri, yang berarti melestarikan. (Jimmy)