Gunungkidul,(kalaharinews.co) – Masjid Asy-Syukur adalah salah satu masjid kuno yang terletak di Padukuhan Trasih, Kalurahan Giriasih, Kapanewon Purwosari, Kabupaten Gunungkidul. Masjid ini berdiri di atas tanah Sultan Ground (SG) dan memiliki nilai sejarah yang erat dengan perkembangan wilayah sekitar. Sebelumnya, di lahan sekitar masjid juga pernah berdiri Pasar Jaha dan Sekolah Ongko Loro (Sekolah Kasultanan), yang kini menjadi SD Giriasih (dulu bernama SD Trasih).
Asal-Usul Pendirian
Masjid Asy-Syukur didirikan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, pada hari Jumat Wage, tahun 926 H (1505 M). Awalnya, masjid ini berbentuk gubuk sederhana yang terbuat dari bambu dengan atap ilalang. Namun, pada masa itu, warga setempat belum menggunakannya untuk salat karena menganggapnya sebagai tempat keramat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Keistimewaan masjid ini terlihat dari beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di sekitarnya, seperti batu bata merah bergambar denah bangunan masjid serta dua mustaka (mahkota atap) yang terbuat dari gerabah. Salah satu mustaka ini dikabarkan hilang secara misterius, sementara yang satu lagi masih ada hingga kini.
“Saat pertama kali dibangun, masjid ini berdiri di dekat Pasar Jaha, sebuah pasar tradisional yang dahulu terletak di depan masjid. Namun, pasar tersebut kini telah hilang, dan lahannya digunakan sebagai bangunan TK,” ujar Takmir Masjid Edys Setyawan.
Edys menambahkan, pada tahun 1982, Masjid Asy-Syukur mengalami pembangunan kembali secara swadaya oleh masyarakat. Sejak saat itu, masjid ini telah mengalami tiga kali renovasi dan mulai difungsikan sebagai tempat ibadah serta pusat kegiatan sosial dan keagamaan.
Dengan letaknya yang strategis di simpang empat Dusun Trasih, Desa Giriasih, Masjid Asy-Syukur tidak hanya menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Gunungkidul, tetapi juga terus berperan sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat sekitar.
Sementara itu, Lurah Giriasih mengatakan Masjid Asy-Syukur memiliki keterkaitan erat dengan berdirinya Kalurahan Giriasih.
Ia menceritakan, pada akhir abad ke-15, saat Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran, banyak keturunannya menyebar ke berbagai daerah. Salah satu tokoh penting di Trasih adalah Raden Wonoboyo, keturunan Prabu Brawijaya V. Sebelum melanjutkan perjalanannya, ia memberikan mandat kepada Ki Trobongso untuk mengelola wilayah ini.
Konon, Masjid Asy-Syukur ditemukan oleh Ki Mudin, seorang tokoh yang menerima tanah sesigar semongko dari Ki Trobongso. Saat membersihkan lahan tersebut, ia menemukan bangunan kecil berbahan kayu dan bata merah yang diyakini sebagai peninggalan Sunan Kalijaga.
Ki Mudin kemudian melaporkan temuannya kepada Ki Trobongso dan kerabatnya. Dalam musyawarah, ia mengusulkan nama “Tlasih” untuk wilayah tersebut, berasal dari bahasa Jawa Tilase Isih, yang berarti “peninggalan yang masih ada,” merujuk pada masjid peninggalan Sunan Kalijaga.
Menariknya, penyerahan tanah kepada Ki Mudin juga terjadi pada Jumat Wage, hari yang sama dengan pendirian Masjid Asy-Syukur. Setelah menerima tanah tersebut, Ki Mudin dan keluarganya menetap di wilayah ini, sementara Ki Trobongso mempercayakannya untuk memimpin daerah tersebut.
“Masjid ini menjadi titik awal perkembangan Giriasih. Dari tempat ibadah ini, muncul komunitas masyarakat yang berkembang menjadi perkampungan hingga akhirnya menjadi bagian dari wilayah administratif yang kini dikenal sebagai Kalurahan Giriasih,” jelas Suwitana.